Mataram, RNETnews.com - Menanggapi aksi kekerasan yang marak terjadi di lingkungan pendidikan, khususnya di Pondok Pesantren, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Nusa Tenggara Barat (NTB) Dr. Buya Subki Sasaki MH angkat bicara. Minggu, (23/6).


Tokoh agama yang akrab disapa Tuan Guru Subki ini menyatakan keprihatinannya terhadap kekerasan di lingkungan pendidikan, seperti dugaan peristiwa penganiayaan di salah satu Ponpes yang ada di Gunung Sari,yang salah satu santriwati asal NTT diduga dianiaya oleh tiga orang temannya hingga mengalami kritis di RS Dr. Soejono Selong.


"Memperhatikan beberapa kasus kekerasan berupa pemukulan yang terjadi di dunia pendidikan pondok pesantren yang dilakukan oleh senior kepada junior tentu sangat memprihatinkan," tulisnya melalui pesan singkat kepada media ini.


Menurut Buya Subki, Negara melalui pemerintah daerah harus hadir dan serius menyikapi persoalan ini agar tidak terulang kembali.


"Pemerintah harus tegas melihat masalah ini sebagai masalah yang serius. Pemerintah harus hadir dengan memberikan perlindungan rasa aman dan nyaman di dunia pendidikan," imbuhnya.


Undang-undang perlindungan anak dan perempuan dan program sekolah ramah anak, menurutnya, menjadi dasar yang kuat bagi negara untuk lebih tegas dalam memberantas kekerasan di dunia pendidikan.


"Amanat UU perlindungan anak dan perempuan serta program sekolah ramah anak sudah cukup sebagai alas hukum pemerintah hadir lebih tegas baik di sekolah negeri atau swasta terutama pondok pesantren," tegasnya.


Penindakan hukum secara tegas, menurutnya, sangatlah penting untuk memperkuat dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pondok pesantren.


"Jika tidak, maka kepercayaan masyarakat pada institusi pesantren akan semakin pudar. Pengawasan dan penindakan secara hukum harus dilakukan. Baik oleh Kemenag atau Dikbud," tandasnya.


Untuk diketahui, pada pemberitaan sebelumnya salah seorang santriwati Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Aziziyah Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) berinisial NI (15) diduga menjadi korban penganiayaan oleh teman-temannya. Sang ayah, Mahmud H. Umar (50) warga Nusa Tenggara Timur ini pun melaporkan kasus ini ke pihak berwajib dan menyerahkan kuasanya kepada Tim Koalisi Perlindungan Anak dan Perempuan (KPAP) pada Minggu (23/6/2024).


Umar yang ditemui media ini di Lombok Timur, mengungkapkan rasa kecewa dan geramnya terhadap pihak Ponpes Al-Aziziyah. Ia merasa pihak ponpes tidak terbuka dan terkesan tidak peduli dengan kondisi kritis putrinya yang dirawat di RSUD dr. R. Soedjono Selong, Lombok Timur, sejak 17 Juni 2024.


"Saya sangat kecewa dengan pondok pesantren yang tidak terbuka dan tidak melindungi anak saya. Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti ini. Saat ini anak saya kritis di ruang ICU," tegas Umar.


Kekecewaan Umar semakin bertambah saat pihak ponpes hanya datang ke rumah sakit untuk meminta damai dan menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan.


"Mereka datang ke sini (rumah sakit) minta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Saya tidak terima! Saya akan tetap proses hukum. Saya mau keadilan untuk anak saya!" tegasnya.


Lebih lanjut, Umar menceritakan bahwa sebelum kritis, putrinya sempat menceritakan jika dia mendapatkan penganiayaan dari teman-temannya di ponpes.


"Anak saya sebelum kritis itu sempat mengatakan jika dia dipukul menggunakan kayu ke arah tubuhnya dan dipukul menggunakan sajadah ke arah mukanya," ungkap Umar sambil berlinang air mata.


Sementara itu, Yan Mangandar Putra, salah satu kuasa hukum Umar, menegaskan kesiapannya bersama tim untuk mendampingi proses hukum kasus ini.


"Ya, kami bersama tim yang lain mendampingi kasus ini karena kami melihat ada kejanggalan dari kasus ini. Pihak ponpes seolah-olah menutupi," ucap Yan.


Yan juga menyinggung bahwa kasus kekerasan di Ponpes Al-Aziziyah bukan kali ini saja terjadi.


"Kasus kekerasan di Ponpes Al-Aziziyah ini bukan hanya kali ini, sudah sering terjadi. Mereka tidak mau berkaca dan intropeksi dari kasus-kasus sebelumnya," imbuhnya.


Yan dan tim kuasa hukumnya juga telah mengambil langkah pendampingan dan mengajukan upaya perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Anak. (Red.)